Minggu, 23 Januari 2011

“Dialog Agama: Membangun Perdamaian Umat Beragama menuju Kesamaan Misi”

“Dialog Agama: Membangun Perdamaian Umat Beragama menuju Kesamaan Misi”

PENDAHULUAN

Dalam negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di daerah kita terdapat beberapa jenis agama yang berbeda. Dari satu sisi, perbedaan-perbedaan yang ada dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa dimana para penganut agama yang berbeda bisa saling menghargai atau menghormati, saling belajar, saling menimbah serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanan masing-masing.[1] Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tetapi dilihat dan dijadikan sebagai pembanding, pendorong, bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki.[2] Kaum beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai selalu, bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling mengasihi. Namun dalam sejarah kehidupan umat beragama, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan. Di banyak tempat, termasuk di Maluku, telah terjadi konflik berdarah dan berapi yang menelan banyak korban manusia dan harta benda, dan agama menjadi legitimasi dari konflik yang ada, sehinga yang terjadi adalah kerukunan antar umat beragama menjadi konsep yang berantakan, yang luntur maknanya dalam kehidupan beragama, yang kemudian dipertanyakan ulang. Apakah konsep kerukunan antar agama sudah tidak lagi relevan dalam konteks yang pernah dilanda konflik?

Menurut pemahaman teoritis dan pengakuan “oral” banyak pihak, agama bukan dan tidak boleh dipandang serta dijadikan sebagai pemicu konflik dan perpecahan, melainkan adalah dan harus dipandang serta dijadikan sebagai penunjang perdamaian dan persatuan. Namun kenyataannya dalam perilaku atau tindakan orang-orang tertentu, entah dengan sengaja atau tidak, agama dipakai sebagai pemicu konflik dan perpecahan. Bahkan ada orang-orang tertentu yang menganggap dan menjadikan agama sebagai dasar atau alasan untuk tidak boleh hidup bersama atau harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun dengan orang yang berbeda agama. Bahkan ada anjuran untuk memusuhi dan membinasakan orang-orang yang beragama lain

Untuk mengantisipasi dan menangani konflik yang lahir dari perbedaan agama ataupun konflik yang sengaja diciptakan atas nama Tuhan, salah satu cara yang sangat efektif adalah memperkuat hubungan antaragama melalui dialog menuju kesamaan misi, yakni misi kemanusiaan.

ISI

Paradigma atau tipe sikap teologis dalam Kekristenan terhadap isu kemajemukan agama menurut Alan Race dapat dikategorikan sebagai (1) eksklusivisme, (2) inklusivisme dan (3) pluralisme[3] yang dapat dimengerti sebagai berikut ini.

1. Paradigma Eksklusivise (Paradigma yang tertutup)

Paradigma eksklusivisme berangkat dari dua ide pokok yang bertolak belakang. Di satu sisi, agama-agama lain lain tak lepas dari keberdosaan manusia yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran. Di lain pihak, hanya Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan. Dan mengganggap alkitab dengan segala tranparansinya yang kadang diabaikan oleh masyarakat banyak agama dan gereja- gereja. [4]Paradigma ini dapat dikenali dalam sikap Gereja Roma Katolik (GRK) pra-Konsili Vatikan II yang menempatkan gereja sebagai pusat keselamatan dengan istilah extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Paus Boniface VIII dengan tegas berkata: ”Kita dituntut oleh iman untuk meyakini dan mempertahankan bahwa ada satu Gereja yang kudus, katolik dan apostolik; kita dengan tegas mempercayainya dan tanpa ragu mengakuinya; di luarnya tidak ada keselamatan atau pengampunan dosa.” Akibatnya, GRK bersikap tertutup dan kurang memandang positif agama-agama lain.[5]

2. Paradigma inklusivisme

Paradigma inklusivisme melampaui eksklusivisme dengan mengatakan bahwa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui finalitas Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi pemenuhan final bagi agama-agama lain. Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan kekristenan. Malah sebaliknya, berusaha secara kreatif agama-agama lain diintegrasikan ke dalam refleksi teologis kristiani. Inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: bekerjanya anugerah Allah serta paham keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam Yesus Kristus.[6]

Paradigma inklusivisme bersikap positif terhadap agama-agama lain karena agama-agama lain dipahami sebagai jalan keselamatan. Pemahaman ini memberi ruang amat luas bagi munculnya kehidupan antar-iman yang dialogis. Gereja memiliki penghargaan besar terhadap agama-agama lain, jadi keselamatan pun ada di luar Gereja.[7] Karena jelas bahwa Teologi dimaksudkan untuk komunitas yang tidak dimaksudkan untuk tetap tinggal menjadi kepunyaan suatu kelas teolog. Ungkapan iman dalam teologi harus menghasilkan perbedaan dalam hidup orang banyak; kalau tidak itu hanayalah pekerjaan yang sia- sia[8]. Jadi sifat terbuka itu baik

.

3. Paradigma Puralisme

Jika eksklusivisme dan inklusivisme tidak memadai bagi kekristenan dalam relasi dengan agama-agama lain, maka paradigma pluralisme menjadi pilihan terbaik. Paradigma ini merupakan kritik atas eklesiosentrisme dan kristosentrisme yang muncul dalam eksklusivisme dan inklusivisme. Pluralisme menggunakan pendekatan teosentris yang menekankan pada kehendak universalitas Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia. Paradigma pluralisme ini tidak satu sebab dikembangkan banyak orang seperti John Hick, Paul F. Knitter, Gordon D Kaufmann, Wilffred Cantwel Smith, Rosemary Ruether, dsbnya.[9]

DIALOG Dan TUJUAN

Pluralisme agama memberi peranan penting bagi terselenggaranya dialog agar tercapai saling pengertian yang mendalam. Dialog bukanlah suatu kegemaran intelektual melainkan suatu keharusan.[10] Dialog sejatinya dilakukan dalam kesetaraan. Dalam dialog tidak boleh prinsip diabaikan dan tidak boleh sekedar mencari kedamaian palsu sebalik-nya harus ada kesaksian yang diberi dan diterima guna saling memajukan satu sama lain di dalam perjalanan pencarian dan pengalaman keagamaan; dan saat yang sama menyingkirkan prasangka, sikap intoleran dan kesalahpahaman.

Beragam bentuk dialog dapat dipraktekkan seperti (1) dialog kehidupan di mana masing-masing memelihara solidaritas dan kebersamaan; (2) dialog melalui percakapan di mana para ahli mempercakapkan ajaran agama mereka masing- masing; (3) dialog spiritualitas lewat ibadah dan doa bersama dari beragam agama; dan (4) dialog dalam tindakan lewat kerjasama mengusahakan kedamaian dan keadilan.[11]

Tujuan dalam dialog dapat ditetapkan misalnya (1) memupuk persaudaraan lintas agama, (2) merayakan bersama hari raya agama dan nasional, (3) menghindari sikap intoleran dan mencegah konflik komunal, dan (4) mengupayakan keadilan sosial dengan merancang berbagai pendekatan konstruktif terhadap masalah-masalah sosial.[12]

Perbedaan bukanlah malapetaka, tetapi perbedaan memiliki kekuatan tersendiri. Jika kita mau membangun hubungan dengan para pemeluk agama lain, atau orang yang berbeda dengan konteks kita, dan mencoba membangun dialog dengan mereka, yang terjadi adalah kita memperdalam kesadaran kita terhadap konteks orang lain.[13] Dalam teologi kontekstual ada satu model yang menurut saya menarik terkait dengan hal ini, yakni model Teologi Sintesis.[14] Model bisa dipakai dalam membangun dialog antar agama, yakni karena sikapnya yang terbuka namun tetap kritis. Model yang melihat perbedaan sebagai modal untuk berdialog, dengan mengakui keunikan masing- masing sehingga kedua belah pihak bisa saling belajar, saling memberi dan saling menerima serta saling mendengarkan supaya sama- sama meraih satu misi yang sama, yakni misi kemanusiaan. Wajar saja JB. Banawiratma melukiskan salah satu model paradigma baru dalam berteologi, yakni model dari “Dialog Kehidupan menjadi Dialog Iman”sebagai suatu model fungsional kontekstual. Menurutnya proses mengejar dan mencari paradigma- paradigma baru dalam berteologi tetap harus diusahakan. Tetapi bukan skema- skema teologis yang pertama- tama mendesak melainkan pengalaman praksis dialog interreligius yang semakin kerap dan refleksi terus- menerus tentangnya yang harus diusahakan dan dimutukan.[15

PENUTUP

Refleksi Teologis

Nurcholish Madjid [16]benar dengan perkataannya bahwa Islam memberikan landasan teologis yang memadai untuk mencari titik temu antara penganut berbagai agama berkitab suci dan jika titik temu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus diberi hak untuk secara bebas memperta- hankan sistem keimanan yang dianutnya. Titik temu antara agama-agama adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila.[17] Jelas bahwa Islam pun terbuka terhadap pluralisme agama dan dialog dan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kekristenan berdialog dengan umat Islam. Dengan belajar dan mengerti pemahaman agama lain dari sumbernya langsung, maka jelas sikap eksklusivisme dan inklusivisme sudah tidak tepat dipertahankan dalam kontek kemajemukan Indonesia. Jika masih dan tetap dipertahankan, itu dapat menyakitkan hati, melukai perasaan dan menyuburkan sikap antipati umat beragama lain terhadap umat Kristen. Kekristenan harus keluar dari ketertutupannya dan memperbaharui paradigma teologinya secara menyeluruh.

Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain. Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme, sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; dan bukan untuk dipertandingkan. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya. Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh.[18]

Model pluralisme Knitter dengan dialog pluralistik yang bertanggungjawab global menurut saya dapat dipertimbangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kerusakan ekologi dalam konteks kita. Agama-agama harus memberikan kontribusi yang berarti mengatasi kedua masalah besar itu. Tentunya sebelum melangkah lebih lanjut perlu Gereja mempersiapkan dirinya lebih baik dan hati-hati sehingga tidak ada motif terselubung yang tidak etis misalnya mencari petobat baru atau kegamangan dalam implementasinya. Model ini mendorong warga masyarakat untuk berdialog sebab dialog agama bukanlah monopoli kaum elit agama. Musibah bencana alam dan kelaparan yang diderita sebagian rakyat Indonesia tidak bisa ditangani secara darurat dan sambil lalu saja. Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilakukan pemerintah tidak efektif dan hanya merugikan keuangan negara. Masyarakat harus dilatih kepekaan dan solidaritas terhadap sesama yang menderita apapun agama dan kepercayaannya. Menumbuhkan kepekan dan solidaritas terhadap sesama merupakan tugas agama yang hakiki.

Dalam era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat berdialog, maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsa dan menciptakan ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama berpotensi sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai dalam bingkai kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika)

Jika kita bertanya “Apa visi Eka DAmaputra” dalam hubungan antar umat? Eka akan menjawab bahwa ia mencita-citakan suatu model kehidupan antar umat yang ia sebut pluralisme. Mengapa pluralisme? Jawabnya adalah karena Eka Darmaputera tinggal dan hidup di Indonesia yang multikultural dengan 13 ribu pulau, 250 bahasa, dan paling sedikit 30 kelompok etnis. Dengan realitas pluralisme itu, Eka ingin semua komponen bangsa itu bisa menciptakan relasi yang pro-eksistensi kreatif, yaitu semua suku bangsa , denominasi, dan umat beragama saling menghargai eksistensi yang lain. Semuanya bersedia membangun persaudaraan, bersedia bekerjasama dalam membangun kemanusiaan yang satu, setara dan adil. Umat didorong untuk bertanggungjawab dalam kebersamaan timbal balik demi meraih tujuan bersama, yaitu kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Visi ini mirip seperti yang diungkapkan Yesaya:”Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama…” (11:6-9). Meski Eka yakin bahwa agama adalah faktor penting dalam menciptakan keadilan dan perdamaian, Eka tidak terjebak pada utopianisme. Ia realitis! Eka tahu, agama bisa memberikan kontribusi positif bagi pluralisme dan kemajuan bangsa. Tetapi, agama bisa juga menjadi penyebab menebalnya sektarianisme yang merapuhkan kekuatan bangsa. Oleh karena itu, agama-agama, terutama gereja, harus mendorong umat membuka diri, bergaul, menciptakan persahabatan dan persaudaraan dengan siapa pun. Jadilah gereja yang kehadirannya relevan dan signifikan bagi masyarakat. Hanya itu satu-satunya cara menjadi berkat bagi semua! Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin , “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalam J.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama, Jogyakarta: Kanisuis, 1999.

Madjid, Nurcholish, “Islam dan Substansiasi Paham Kebangsaan di Indonesia”, dalam F. Suleeman, dkk., (peny.)Bergumul dalam pengharapan; Buku Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999).

Banawiratma, J.B, Teologi fungsional-Teologi Kontekstual, Jakarta: BPK.Gunung Mulia,1988.

Hick Jhon,& Paul F Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001.

Schumann, Olaf H, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Tanja, Victor I. Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Knitter, Paul.F , No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the

World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995).

Riyanto, F.X.E. Armada, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Joas Adiprasetya,Mencari dasar bersama: Etik global dalam kajian post-modernisme dan pluralisme agama, Jakarta: Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002.

Sairin, Weinata, Kerukunan umat beragama pilar utama kerukunan berbangsa, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Yewangoe, A. Anangguru, Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK Gununung Mulia, 2001.

Bevans, B, Stephen.. Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero. 2002

Carroll, P, Robert.. The Bible As a Problem For Christianity. Philadelipa: Trinity Pres Internatioanl. 1991.

Darmaputera, Eka (penyunting). 2004. Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuimahallo. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

G, David dan Hallman (ed).. Ecotheology:Voices From South and North. New York: WCC Publications. 1995

Schreiter, J, Robert. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar