“Dialog Agama: Membangun Perdamaian Umat Beragama menuju Kesamaan Misi”
Dalam negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di daerah kita terdapat beberapa jenis agama yang berbeda. Dari satu sisi, perbedaan-perbedaan yang ada dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa dimana para penganut agama yang berbeda bisa saling menghargai atau menghormati, saling belajar, saling menimbah serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanan masing-masing.[1] Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tetapi dilihat dan dijadikan sebagai pembanding, pendorong, bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki.[2] Kaum beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai selalu, bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling mengasihi. Namun dalam sejarah kehidupan umat beragama, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan. Di banyak tempat, termasuk di Maluku, telah terjadi konflik berdarah dan berapi yang menelan banyak korban manusia dan harta benda, dan agama menjadi legitimasi dari konflik yang ada, sehinga yang terjadi adalah kerukunan antar umat beragama menjadi konsep yang berantakan, yang luntur maknanya dalam kehidupan beragama, yang kemudian dipertanyakan ulang. Apakah konsep kerukunan antar agama sudah tidak lagi relevan dalam konteks yang pernah dilanda konflik?
Paradigma atau tipe sikap teologis dalam Kekristenan terhadap isu kemajemukan agama menurut Alan Race dapat dikategorikan sebagai (1) eksklusivisme, (2) inklusivisme dan (3) pluralisme[3] yang dapat dimengerti sebagai berikut ini.
1. Paradigma Eksklusivise (Paradigma yang tertutup)
Paradigma eksklusivisme berangkat dari dua ide pokok yang bertolak belakang. Di satu sisi, agama-agama lain lain tak lepas dari keberdosaan manusia yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran. Di lain pihak, hanya Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan. Dan mengganggap alkitab dengan segala tranparansinya yang kadang diabaikan oleh masyarakat banyak agama dan gereja- gereja. [4]Paradigma ini dapat dikenali dalam sikap Gereja Roma Katolik (GRK) pra-Konsili Vatikan II yang menempatkan gereja sebagai pusat keselamatan dengan istilah extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Paus Boniface VIII dengan tegas berkata: ”Kita dituntut oleh iman untuk meyakini dan mempertahankan bahwa ada satu Gereja yang kudus, katolik dan apostolik; kita dengan tegas mempercayainya dan tanpa ragu mengakuinya; di luarnya tidak ada keselamatan atau pengampunan dosa.” Akibatnya, GRK bersikap tertutup dan kurang memandang positif agama-agama lain.[5]
Paradigma inklusivisme melampaui eksklusivisme dengan mengatakan bahwa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui finalitas Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi pemenuhan final bagi agama-agama lain. Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan kekristenan. Malah sebaliknya, berusaha secara kreatif agama-agama lain diintegrasikan ke dalam refleksi teologis kristiani. Inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: bekerjanya anugerah Allah serta paham keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam Yesus Kristus.[6]
Paradigma inklusivisme bersikap positif terhadap agama-agama lain karena agama-agama lain dipahami sebagai jalan keselamatan. Pemahaman ini memberi ruang amat luas bagi munculnya kehidupan antar-iman yang dialogis. Gereja memiliki penghargaan besar terhadap agama-agama lain, jadi keselamatan pun ada di luar Gereja.[7] Karena jelas bahwa Teologi dimaksudkan untuk komunitas yang tidak dimaksudkan untuk tetap tinggal menjadi kepunyaan suatu kelas teolog. Ungkapan iman dalam teologi harus menghasilkan perbedaan dalam hidup orang banyak; kalau tidak itu hanayalah pekerjaan yang sia- sia[8]. Jadi sifat terbuka itu baik
Jika eksklusivisme dan inklusivisme tidak memadai bagi kekristenan dalam relasi dengan agama-agama lain, maka paradigma pluralisme menjadi pilihan terbaik. Paradigma ini merupakan kritik atas eklesiosentrisme dan kristosentrisme yang muncul dalam eksklusivisme dan inklusivisme. Pluralisme menggunakan pendekatan teosentris yang menekankan pada kehendak universalitas Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia. Paradigma pluralisme ini tidak satu sebab dikembangkan banyak orang seperti John Hick, Paul F. Knitter, Gordon D Kaufmann, Wilffred Cantwel Smith, Rosemary Ruether, dsbnya.[9]
Pluralisme agama memberi peranan penting bagi terselenggaranya dialog agar tercapai saling pengertian yang mendalam. Dialog bukanlah suatu kegemaran intelektual melainkan suatu keharusan.[10] Dialog sejatinya dilakukan dalam kesetaraan. Dalam dialog tidak boleh prinsip diabaikan dan tidak boleh sekedar mencari kedamaian palsu sebalik-nya harus ada kesaksian yang diberi dan diterima guna saling memajukan satu sama lain di dalam perjalanan pencarian dan pengalaman keagamaan; dan saat yang sama menyingkirkan prasangka, sikap intoleran dan kesalahpahaman.
Beragam bentuk dialog dapat dipraktekkan seperti (1) dialog kehidupan di mana masing-masing memelihara solidaritas dan kebersamaan; (2) dialog melalui percakapan di mana para ahli mempercakapkan ajaran agama mereka masing- masing; (3) dialog spiritualitas lewat ibadah dan doa bersama dari beragam agama; dan (4) dialog dalam tindakan lewat kerjasama mengusahakan kedamaian dan keadilan.[11]
Tujuan dalam dialog dapat ditetapkan misalnya (1) memupuk persaudaraan lintas agama, (2) merayakan bersama hari raya agama dan nasional, (3) menghindari sikap intoleran dan mencegah konflik komunal, dan (4) mengupayakan keadilan sosial dengan merancang berbagai pendekatan konstruktif terhadap masalah-masalah sosial.[12]
Perbedaan bukanlah malapetaka, tetapi perbedaan memiliki kekuatan tersendiri. Jika kita mau membangun hubungan dengan para pemeluk agama lain, atau orang yang berbeda dengan konteks kita, dan mencoba membangun dialog dengan mereka, yang terjadi adalah kita memperdalam kesadaran kita terhadap konteks orang lain.[13] Dalam teologi kontekstual ada satu model yang menurut saya menarik terkait dengan hal ini, yakni model Teologi Sintesis.[14] Model bisa dipakai dalam membangun dialog antar agama, yakni karena sikapnya yang terbuka namun tetap kritis. Model yang melihat perbedaan sebagai modal untuk berdialog, dengan mengakui keunikan masing- masing sehingga kedua belah pihak bisa saling belajar, saling memberi dan saling menerima serta saling mendengarkan supaya sama- sama meraih satu misi yang sama, yakni misi kemanusiaan. Wajar saja JB. Banawiratma melukiskan salah satu model paradigma baru dalam berteologi, yakni model dari “Dialog Kehidupan menjadi Dialog Iman”sebagai suatu model fungsional kontekstual. Menurutnya proses mengejar dan mencari paradigma- paradigma baru dalam berteologi tetap harus diusahakan. Tetapi bukan skema- skema teologis yang pertama- tama mendesak melainkan pengalaman praksis dialog interreligius yang semakin kerap dan refleksi terus- menerus tentangnya yang harus diusahakan dan dimutukan.[15
Nurcholish Madjid [16]benar dengan perkataannya bahwa Islam memberikan landasan teologis yang memadai untuk mencari titik temu antara penganut berbagai agama berkitab suci dan jika titik temu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus diberi hak untuk secara bebas memperta- hankan sistem keimanan yang dianutnya. Titik temu antara agama-agama adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila.[17] Jelas bahwa Islam pun terbuka terhadap pluralisme agama dan dialog dan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kekristenan berdialog dengan umat Islam. Dengan belajar dan mengerti pemahaman agama lain dari sumbernya langsung, maka jelas sikap eksklusivisme dan inklusivisme sudah tidak tepat dipertahankan dalam kontek kemajemukan Indonesia. Jika masih dan tetap dipertahankan, itu dapat menyakitkan hati, melukai perasaan dan menyuburkan sikap antipati umat beragama lain terhadap umat Kristen. Kekristenan harus keluar dari ketertutupannya dan memperbaharui paradigma teologinya secara menyeluruh.
Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain. Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau sinkretisme, sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; dan bukan untuk dipertandingkan. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya, melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya. Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan bukan pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh.[18]
Banawiratma, J.B, Teologi fungsional-Teologi Kontekstual, Jakarta: BPK.Gunung Mulia,1988.
Hick Jhon,& Paul F Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001.
Schumann, Olaf H, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Knitter, Paul.F , No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the
World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995).
Riyanto, F.X.E. Armada, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Yewangoe, A. Anangguru, Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK Gununung Mulia, 2001.
Bevans, B, Stephen.. Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero. 2002
Schreiter, J, Robert. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006.
[1], Weinata Sairin, Kerukunan umat beragama pilar utama kerukunan berbangsa, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002. Hlm 70
[3] Joas Adiprasetya,Mencari dasar bersama: Etik global dalam kajian post-modernisme dan pluralisme agama, Jakarta: Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002. hlm. 49
[4] P, Robert. Carroll, The Bible As a Problem For Christianity. Philadelipa: Trinity Press Internatioanl. 1991, hlm 12
[5] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 23.
[7] Victor I.Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1994, hlm123
[10] Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 122
[12] Paul.F Knitter, No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the
World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995), hlm 245
[13] G, David dan Hallman (ed). Ecotheology:Voices From South and North. New York: WCC Publications. 1995.hlm 196
[14] Model sintesis juga disebut model dialegtik atau model dialog. Dalam model ini terjadi dialog terus- menerus secara kritis, dinamis, kreatif dan dialektis antara iman Kristen dengan budaya- budaya
[15] Lih J.B.Banawiratma, Teologi fungsional-Teologi Kontekstual,dalam Eka Damaputra,konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: BPK.Gunung Mulia,1988.hlm 47-64
[16] Cak Nur dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa, ia dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman /ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar