Jumat, 17 Desember 2010

Teologi Agama- agama

PERBEDAAN SEBAGAI TITIK TUMPU DIALOG ANTAR AGAMA

Latar Belakang Masalah
Perbedaan konsepsi diantara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Perbedaan – bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, Baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama. Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai tempat dimana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang – sedikit banyak - dipicu oleh perbedaan konsep diantara kedua agama ini. Pandangan Radikal dan fanatisme satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya.
Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang – boleh jadi- terdapat pada umat. sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!”. Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan). Maka, sebagian pengamat melihat, agama adalah sumber konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial. sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.

Perbedaan Konsepsi antar Agama
Terhadap konflik yang terjadi antara umat beragama telah menimbulkan dua kutub pemikiran yang berbeda. Pertama, sikap “anti agama” yaitu berupa penegasian dan pengingkaran peran agama dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Agama dianggap sebagai sumber konflik, sehingga harus disingkirkan. Agama dianggap tidak mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehingga harus disingkirkan. Sikap masing-masing agama yang menganggap memiliki kebenaran secara mutlak. Pada level keindonesiaan, cendekiawan yang tergolong pluralis mengindikasikan betapa banyaknya konflik antar umat beragama disebabkan karena sikap eksklusif para pemeluknya terhadap ajaran agama mereka. Yang terakhir ini, menurut mereka, cenderung menjadi “pemberhalaan” konsep ajaran agama itu sendiri, sehingga lupa pada essensi agama yang sebenarnya yaitu sikap tunduk dan pasrah pada kebenaran. Karena itu, dengan perspektif “Teologi Inklusif”, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan subjektif seperti , “Hanya agama sayalah yang memberi keselamatan, sementara agama Anda tidak, dan bahkan menyesatkan” akan mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, dan berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan. Kelompok pengusung pluralisme agama, dalam prakteknya telah bertindak tidak hanya sebatas wacana. Sejumlah sikap dan tindakan konkret mereka perlihatkan dalam mewujudkan “sikap toleransi” dan “keterbukaan” untuk menerima kebenaran dari berbagai “pintu / jalan”.
Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama, atau konversi dari Islam ke Kristen dan sebaliknya adalah hal yang dianggap mereka “lumrah”, dan tidak harus dipersoalkan. Sebab, bagi mereka, kebenaran mutlak hanya “satu”, hanya interpretasi dan implementasinya saja yang berbeda di tengah-tengah masyarakat. Gagasan pluralisme yang cenderung menyamakan agama-agama jelas merupakan sesuatu yang mustahil dan tidak sesuai dengan realitas bahwa konsepsi masing-masing agama memang berbeda. Adalah sesuatu yang mustahil “mempersatukan” agama-agama, sementara konsep masing-masing agama tentang “Tuhan”, misalnya, berbeda antara satu dengan lainnya. Walaupun benar bahwa ada konflik-konflik horizontal (sejajar), yang disebabkan karena perbedaan konsepsi agama, seperti yang terjadi pada konflik antara Katolik dan Protestan di Eropa (khususnya Irlandia Utara), dan antara Sunni dan Syi’ah di dunia Islam (misalnya Irak). Konflik Ambon, yang pernah terjadi di Indonesia, juga disinyalir disebabkan karena perbedaan konsep agama (walaupun factor-faktor lain, seperti kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya turut juga berperan). Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa melayang dalam pertikaian panjang dan melelahkan itu. Konflik Islam - Kristen yang terjadi di beberapa tempat, jika dianalisa lebih dalam, ternyata tidak disebabkan karena perbedaan konsepsi keagamaan.

Dialog antara Agama
Salah satu syarat dalam mewujudkan kerukunan di antara para penganut agama yang berbeda adalah adanya dialog. Makna dialog di sini adalah percakapan antara dua orang atau lebih dimana di dalamnya terjadi pertukaran nilai-nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Atau, dialog juga bisa bermakna sebagai sikap saling membagi atau sharing. Tegasnya, dialog berarti ‘kami berbicara kepada anda,’ atau ‘kami berbicara dengan anda,’ yang kemudian berlanjut menjadi ‘kita semua’ berbicara sesama kita membicarakan masalah kita bersama. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para penganut agama dalam mewujudkan dialog. Para penganut agama dituntut mempunyai pribadi diagonal, pribadi utuh, dan pribadi otentik. Pribadi diagonal dalam arti seseorang yang terbuka, sanggup membuka diri kepada orang lain dan sanggup mendengarkan dan menerima ungkapan diri orang lain, serta sanggup mematuhi aturan-aturan dilogis. Pribadi utuh dalam arti memberikan tanggapan dengan sepenuh hati, bukan setengah-setengah. Pribadi otentik dalam arti menghargai orang lain sebagai pribadi dan mau mempercayainya serta tidak memperalatnya untuk kepentingan pribadi. Selanjutnya, dialog bisa dilakukan dalam beberapa bentuk. Pertama, dialog kehidupan. Ini merupakan dialog yang paling sederhana. Setiap pemeluk agama berbaur dalam kehidupan sehari-hari melakukan aktifitas sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing. Kedua, dialog kerja sosial. Dialog ini merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan dan telah mengarah pada kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keberagamaan. Titik pijaknya berawal dari bagaimana menempatkan agama kita di tengah-tengah agama orang lain. Selanjutnya, dialog teologis. Dialog ini sebagai landasan kerukunan umat beragama. Berawal dari pijakan bagaimana menempatkan iman kita di tengah-tengah iman orang lain. Yang terpenting dalam dialog ini adalah berbagi pengalaman keagamaan, bukannya berdebat dan berbantah-bantahan. Keempat, dialog spiritual.
Tetapi, untuk mewujudkan dialog antar para penganut agama dihadapkan pada beberapa rintangan yang harus diatasi. Pertama, rintangan bahasa. Kedua, gambaran tentang orang lain yang keliru. Ketiga, nafsu membela diri. Dan perlu diingat, bahwa dialog antar para penganut agama bukanlah merupakan peleburan agama-agama menjadi satu agama. Juga bukan membuat suatu sinkretisme, semacam agama baru yang memuat unsur-unsur ajaran agama. Dialog juga bukan untuk mendapatkan pengakuan akan supremasi agamanya sebagai agama yang paling benar. Dialog di sini adalah untuk mencapai saling pengertian dan saling menghargai di antara para penganut agama. Di era globalisasi sekarang ini, hubungan antar berbagai komunitas yang berbeda tidak dapat dielakkan lagi. Termasuk hubungan antar berbagai agama yang berbeda-beda. Hal ini mensyaratkan adanya sikap pluralis dalam beragama, dalam arti pengakuan akan keberagaman dalam kehidupan beragama. Dan untuk mewujudkan pluralisme agama ini perlu adanya suatu dialog yang dilandasi sikap terbuka dan saling menghargai adanya perbedaan. Jika hal ini bisa dilakukan oleh para penganut agama, niscaya tragedi yang selama ini menghiasi wajah keberagamaan umat manusia selama ini, dapat diganti dengan kerukunan hidup bersama dalam suasana persahabatan antar agama yang sejati.
Dari uraian di atas, kelompok sampai pada kesimpulan bahwa konflik antara umat beragama, dalam hal ini agama-agama, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi diantara agama-agama. Itu lebih merupakan asumsi yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya“mengaburkan” peran agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram” agama-agama di tengah umatnya, sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan manusia dari kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan permusuhan diantara pemeluk agama. Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama” sementara yang terakhir mencoba “menyamakan” agama-agama, dengan berlindung di balik “topeng” pluralism agama. Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu gagasan yang tidak mungkin, karena “memang” kedua agama ini berbeda. Kendatipun demikian, konflik antara umat Islam dan Kristen jika dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan konsepsi diantara kedua pemeluknya. Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari pengamatan, sehingga agama dijadikan sebagai alat legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok satu terhadap yang lainnya.
















DAFTAR PUSTAKA
• Hakiem (Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan.
• Besar Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995
• Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001
• Noersena, Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi,
Yogyakarta, 2001
• Djam’annuri, “Dialog Antar Agama: Kontribusinya bagi Pembangunan Moral dan Etika Bangsa,” dalam Esensia, Vol. 2, No. 1, Januari 2001.